Wamendagri: Putusan MK Datang Tepat Waktu untuk Evaluasi Sistem Pemilu

Sumbar, PaFI Indonesia — Wakil Menteri dalam Negeri Bima Arya menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) datang pada waktu yang tepat untuk mengevaluasi menyeluruh sistem pemilu. Evaluasi juga dibutuhkan pada sistem kepartaian.
Menurut Bima, evaluasi bahkan bukan hanya terhadap sistem pemilu, tapi juga terhadap sistem kepartaian. Pemerintah dan DPR, kata dia, sudah memiliki keinginan untuk mengevaluasi sistem pemilu.

  • “Jadi setelah lakukan 8-9 kali, pemilu, ini waktu yang tepat untuk melakukan evaluasi sistem pemilu. Sistem Pilkada. Sistem presidensial. Sistem kepartaian. Jadi keputusan MK ini datang di waktu yang sangat tepat sekali,” kata Bima dalam wawancara The Political Show PaFI Indonesia, Senin (6/1) malam.

Dia menegaskan pemerintah menghormati putusan MK. Politisi PAN itu menyatakan tak ada yang bisa mengutak-atik putusan MK karena bersifat final dan mengikat.

Selanjutnya, Bima menilai pemerintah dan DPR harus berhati-hati menerjemahkan putusan MK lewat revisi undang-undang.

“Proses revisi ini harus senafas, selaras, sejalan satu semangatnya dengan putusan MK tadi,” katanya.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Komisi II DPR Rifqinizami Karsayuda menilai MK hanya membatalkan Pasal 222 UU Pemilu yang berisi soal aturan syarat ambang batas pencalonan presiden.

MK juga memberikan ilustrasi bahwa putusan tersebut seluruh partai boleh mengajukan pasangan capres. Namun, Rifqi mengingatkan bahwa MK juga memerintahkan rekayasa konstitusional agar jumlah capres tidak terlalu banyak.

“Jadi kalau ditanya Komisi II bagaimana sikapnya, kita hormati kita paham. Putusan MK itu final and binding, tapi bagaimana normanya ke depan, tunggu episode berikutnya,” kata Rifqi.

Hakim MK Arief Hidayat menekankan bahwa ketidaksesuaian antara kedua pasal ini menimbulkan perdebatan mengenai keabsahan proses penegakan hukum terhadap kedua subjek hukum a quo.

MK memutuskan harmonisasi diperlukan agar kedua pasal ini konsisten dan tidak terjadi perbedaan penafsiran dalam implementasinya.

MK kini menyatakan Pasal 188 berbunyi: “Setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat Aparatur Sipil Negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan, dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 atau paling banyak Rp6.000.000,00.”